PASITABE, Sang Ibu Angkat

Tanah Nuha

PASITABE adalah sebuah konsorsium budaya yang dibentuk oleh sejumlah etnis lokal yang berdiam di ujung utara Sulawesi Selatan. Wilayah tersebut saat ini berada dalam kawasan Kabupaten Luwu Timur. Berbatasan langsung dengan Kabupaten Morowali dan Kabupaten Poso di Sulawesi Tengah, serta Kabupaten Kolaka di Sulawesi Tenggara, membuat wilayah Luwu Timur unik karena dihuni oleh beberapa etnis, ada yang serumpun dan tersebar di tiga provinsi tersebut, juga ada etnis pendatang yang tiba oleh arus perdagangan maupun industri.

Demikianlah, konsorsium budaya PASITABE (selalu ditulis dengan huruf besar) dibentuk oleh tiga etnis serumpun yaitu Padoe, Karunsie dan Tambee. Dari suku kata nama ketiga suku tersebutlah muncul nama PASITABE (PAdoe, KarunSIe, TAmBEe). Terbentuknya PASITABE ini tentu saja didukung juga oleh alasan sejarah. Pergolakan yang terjadi di Sulawesi pada dekade 50 hingga 60-an, yang didalangi oleh DI-TII dan Permesta, membuat wilayah Sulawesi cukup porak-poranda, baik tatanan sosial, ekonomi maupun infrastrukturnya. Tak sedikit kelompok masyarakat yang harus eksodus dari kampung halamannya; lari menyelamatkan diri ke hutan-hutan atau ke kampung lain, bahkan menyeberang hingga ke lain provinsi.

Etnis Padoe, Karunsie dan Tambee pun terlibas dampak pergolakan tersebut. Rombongan pengungsi yang berjalan lewat hutan dan padang, berbondong-bondong meninggalkan tanah tumpah darah; tanah yang mereka sebut sebagai TANAH NUHA. Lalu bertahun-tahun mereka hidup dalam kenangan; kenangan akan TANAH NUHA itu.

Ketika masa telah aman, pada akhir 60-an hingga awal 70-an, terjadilah arus balik ke TANAH NUHA. Etnis Padoe, Karunsie dan Tambee kini menemukan kampung mereka telah berubah oleh pergolakan yang panjang. Sawah dan ladang hancur tak terurus, lumbung penyimpanan padi habis terkuras, rumah pun lenyap terbakar, bahkan sejumlah sanak saudara tak lagi dapat ditemukan karena menjadi korban pergolakan. Tak banyak yang tersisa, semua hilang dan lenyap. Termasuk semangat dan keberanian yang pernah ada.

Memang tak mudah untuk membangun kembali apa yang telah hancur. Dibutuhkan waktu bertahun-tahun untuk memompa semangat agar bangkit dari kehancuran. Dibutuhkan waktu pula untuk menata kembali jajaran persawahan, ladang dan perkebunan yang perlahan telah berubah menjadi hutan. Bertahun juga untuk memelihara dan membiakkan kembali ternak dan unggas yang pernah ada.

Rumah dan pakaian adat telah habis terbakar. Yang tersisa pun telah lapuk dimakan masa. Sungguh tak banyak yang tersisa. Hanya nyanyian tentang kampung halaman dan tarian syukur yang mengiringinya. Tak banyak yang tertinggal, selain ingatan akan irama tabuhan gendang dan gong; yang pun tak serta merta dapat dimainkan karena gong dan gendang itu telah tercecer di hutan saat menyelamatkan diri.

Walaupun demikian, dan apa pun keadaannya, mereka kini telah kembali ke TANAH NUHA. Bersatu asa dengan semangat TEPOASO KATO MEMOROSO (dengan bersatu kita menjadi kuat) dan rasa senasib sepenanggungan mulai memudarkan batas-batas perbedaan dan trauma akibat penderitaan. Mereka mencoba untuk bersama-sama menata hidup kembali.

Dengan semangat itu pulalah, generasi tersisa dari ketiga etnis tersebut, pada dekade 80-an membentuk konsorsium kebudayaan PASITABE. Mereka berharap dapat menegakkan kembali kebudayaan dan adat dengan sisa-sisa tenaga yang ada. Hukum adat, megahnya kebudayaan, tatanan sosial masyarakat dan kepemimpinan, serta kesenian tradisional haruslah mendapatkan kawalan dari sebuah sinergi yang dapat diandalkan. Konsorsium pun mendapat tempatnya.

Alasan pemberdayaan perekonomian masyarakat tentu saja turut menggerakkan terbentuknya konsorsium ini. Diperuncing oleh arus kedatangan etnis-etnis lain oleh gerakan perdagangan dan industri, tentu saja membuat tantangan perekonomian masyarakat lokal TANAH NUHA ini menjadi semakin berat. Konsorsium dibentuk untuk salah satunya diharapkan berperan dan mengambil andil di dalam era persaingan dan pra-modern tersebut. Menyelamatkan kaum sebelum saatnya mereka dapat kembali berdiri di atas kaki sendiri.

Begitulah yang terjadi, tahun demi tahun setelahnya. Melewati dekade 90-an, di pengujung abad 20 konsorsium tampaknya telah menyuntik semakin banyak ruh dan semangat ke dalam darah kaumnya. Budaya dan kesenian kembali ditegakkan; pun diperkenalkan hingga anak dan cucu. Hukum dan aturan adat dibuhulkan, sehingga masyarakat terkelola kembali oleh segelintir pemuka dan tokoh adat yang tersisa.

Yang Baru Yang Telah Lahir

Abad 21 baru saja memulai tahun-tahunnya ketika zaman telah benar-benar berubah. Seiring itu, generasi baru pun tampil ke depan. Gerakan kebudayaan kini mulai lahir dari jiwa muda yang menapaki tangga naik ke pentas. Ketiga etnis mulai kembali menemukan formatnya; atau mungkin sekadar jiwa muda itulah yang ingin menambatkan diri entah ke mana kebudayaan dan citra dirinya.

Bagaimanapun, konsorsium telah menjadi pengawal kebangkitan kebudayaan ini. Bagaikan panah dengan anak panahnya, PASITABE kini melahirkan kesadaran budaya dan adat istiadat, citra diri dan wibawa pada jiwa generasi baru Padoe, Karunsie dan Tambee. PASITABE telah membuat mereka mulai mengenal warnanya masing-masing; PASITABE telah membentuk dan mengantarkan jiwa-jiwa baru ini, dengan tangannya yang tak terlihat.

Bagaikan ibu angkat dengan anaknya yang laki-laki dan perempuan, suatu saat nanti PASITABE akan melepaskan ketiga anak angkatnya untuk berlari sendiri menuju nasibnya masing-masing.

Tentu saja, gerakan kebudayaan, bagaimana pun, merupakan salah satu alat ampuh dalam pemberdayaan dan pengembangan masyarakat. Tak peduli format apa yang muncul pertama kali, atau kedua, ketiga, dan keempat kali dalam perkembangan dan upaya konservasinya, tetap saja semangat sejati sebuah kebudayaan yang dilahirkan, dijaga dan dikembangkan akan membuatnya awet dan kekal; walau mungkin kita dapat melihat berbagai perbedaan yang disebabkan oleh evolusi yang telah terjadi.

Yang Tua Yang Berevolusi

Kini yang ada hanya PASITABE; tapi besok Karunsie akan mulai belajar berdiri, Padoe pun merenggang kaki dan mulai berlari, Tambee akan berlompat-lompat kegirangan. Semuanya akan menemukan kembali iramanya … (saya teringat akan irama yang sama, yang dimainkan leluhur kami kurang lebih 60 tahun yang lalu …. sungguh sebuah perjalanan yang panjang!)

(sebuah catatan dari jiwa muda yang mendapat kehormatan untuk turut menjadi ibu angkat, namun yang jua turut lahir dalam perjalanan panjang itu ..).

Explore posts in the same categories: Etnis

20 Komentar pada “PASITABE, Sang Ibu Angkat”

  1. rohman Says:

    sip Bos…yang pasti harus punya nafas panjang, kecuali mau revolusi dan tertatih serta bingung mengkais-kais akar dirinya. maju perut, pantat mundur!!!

  2. franky Says:

    Goodlah webnya.Bagus untuk mempromosikan kebudayaan diwasuponda.Tambah terus postingannya biar semakin banyak pengunjungnya.

  3. NOISE Says:

    Bravo deh,
    Maju terus pasitabe,bentangkan lebih luas permadani mu,
    pastikan anak cucu mu kelak bisa menikmati lebiha lagi hijaunya tanah Pasitabe,

    Tabea,
    INO

  4. wiwi Says:

    sya bukan orang asli wasuponda, tapi saya lahir dan di besarkan di tanah nuha tsb, dan saya menanggap wsp adl kampung halaman saya, dlm hal ini saya sangat mendukung perjuangan warga PASITABE untuk terus maju. Saya ingin skali membuat kampung halaman maju dan berkembang spt kota2 lainnya. Saya yakin setelah menyelesaikan studi, saya akan berusaha u/ mengharumkan nama Wasuponda. MEKULE dan maju terus…

  5. syahrianto Says:

    Saya ingin mengetahui sejarah yg sebenarnya tentang PASITABE. wilayah, kampung, dan yang termasuk didalamnya apa saja????
    Apa yg akan kami ceritakan kepada anak cucu kita kelak nanti????
    Terima kasih,,

  6. mercy Says:

    mantap mi…..memang tidak salah itu pengembangan adat budaya bukan hanya lewat tari, lagu dan sebagainya lewat website juga lebih mantap….lebih hi-tech katanya habibie.
    Maju terus dan semangat ko…dan sukses buat pembuat website ini

    tabea,
    Mercy-PTI Geologist

  7. endhynk Says:

    ini baru OK punya…!!!!
    siapa lagi yang diharapkan promosikan adat ta’ klo tidak di mulai dari diri kita sendiri.

    tabea miu,
    endhynk

  8. Maxi Yoel R. Says:

    Waw….. ternyata sejarah orang Padoe kyk gitu yah….
    Meskipun lahir dan besar di TANAH NUHA tapi baru kali ini saya dengar tenteng sejarah Padoe….
    hehehe jadi malu neh… saya kan juga orang Padoe….tapi setengah. (Padoe-Toraja)
    Salam Buat Semua Orang PADOE Di mana saja.
    GBU…

  9. ningsih lamaindi Says:

    pasitabe..seru abiz!!!! gitu dong jadi anak daerah harus maju and semangat mengembangkan budaya kita biar seluruh dunia tahu kalau PASITABE OKE PUNYA BRO…

  10. Palando Crew Says:

    Keren, gaul n Exist dech…

  11. Palando Crew Says:

    kalo bisa fotonya om janggot itu..
    minuman tehnya.. kotaknya diganti dengan gelas dari bambu (hahaha) lengkap dengan lehodo,winalu n sayur tiwo..

  12. budi Says:

    aku juga bukan anak wpd asli, tapi aku lahir dan dibesarkan di wpd tersebut, semangat PASITABE dan kelak dapat mengangkat nama daerah untuk lebih eksis kedepannya, buat teman-teman belajar yang rajin na biar kelak dapat kembali dan membangun tanah lahir ta sendiri Amin

  13. Padoe78 Says:

    Saya baru tahu ada tari ende juga kita punya…mantap bgt bos, saya suka sekali isi blog ini! maju terus!!

  14. Some-one Says:

    Saya masih bingung tentang etnies2 di tanah luwu ini…tertantang tuk mempelajarinya ^__^. semoga lancar saja acara adat Pasitabe tanggal 12-13 Desember 2009 di lapangan desa kawata-wasuponda !!!

  15. ifhan dwin Says:

    agkat tangan mu di dada,,..
    buat peradaban pasitabe yang bermartabat
    dan kompeten,,..

  16. HiTMAN Says:

    Hello everyone! I don’t know where to begin but hope this place will be useful for me.
    In first steps it’s very good if someone supports you, so hope to meet friendly and helpful people here. Let me know if I can help you.
    Thanks in advance and good luck! 🙂

  17. helton Says:

    sy sangat berterima kasih ats informasi yang diberikan kepada dunia luar tentang suku padoe….
    secara khusus warga pasitabe…. tabeanggu…

  18. Bill Tamolida Says:

    Trimakasi buat teman-teman yang sudah dengan susah payah memperkenalkan suku Padoe ( PASITABE ),di dunia maya,,,maju terus…..

    Tabeamiu,,( Tambe’e )

  19. Pdt. I wayan Norsa Adiwijaya Says:

    Sy pecinta sejarah ethnis. Meski sy seorg bali tulen, ttp sy concern dgn rumpun suku pribumi di tanah nuha; padoe, karunsie dan Tambee. Sejarah suku2 ini ptg ut di research selanjutnya dituangkan dlm sbh karya ilmiah ut. Memperjls eksistensi suku pd ms mendatg. Sy telah melakukan research ttg suku Tambee dan penulisan sej. Ini telah rampung dgn tebal halaman berkisar 200 halmn. Ttp ut. Pencetakannx msh terkendala biaya yg ckp bsr. Lanjutkan ut. Publikasi ttg suku2 pasitabe. Bravo. Tabea miu ari……

  20. fajar Says:

    Salam
    pada bulan januari sampai februari lalu melakukan penelitian tentang seni tradisi beberapa suku di Luwu Timur termasuk padoe. Dengan adanya Blog ini saya merasa sangat terbantu sekali dan alangkah baiknya jika bisa sharing lebih lanjut dengan pemilik blog ini
    terimakasih sebelumnya…


Tinggalkan komentar